Beranda | Artikel
Penjelasan Wanita-Wanita Ahli Kitab Yang Dilarang Untuk Dinikahi
Kamis, 16 Oktober 2014

PENJELASAN WANITA-WANITA AHLI KITAB YANG DILARANG UNTUK DINIKAHI

Oleh
Humaidhi bin Abdul Aziz bin Muhammad Al-Humaidhi

WANITA AHLI KITAB YANG DIPERANGI
Sehubungan dengan wanita Ahli Kitab yang diperangi, maka para ulama memakruhkan (membenci) menikahinya, bahkan Ibnu Al-Hammam mengutip dari pendapat madzhab Hanafiyah, yang mengatakan adanya ijma’ dalam masalah tersebut, dengan berbagai alasan sebagai berikut.

  1. Terbukanya pintu fitnah, karena akan ada keterikatan yang dipaksakan untuk tinggal bersama wanita tersebut di wilayah daarul harbi (negeri kafir yang diperangi pemerintah Islam)
  2. Akhlak anak akan terpengaruh oleh akhlak orang-orang kafir
  3. Dikhawatirkan akan terjadi perbudakan apabila wanita tersebut tertawan, sedang dia dalam kondisi hamil, sehingga anaknya nanti akan terlahir sebagai budak meskipun muslim.

MENIKAHI BUDAK-BUDAK WANITA AHLI KITAB
Para ulama masih berbeda pendapat tentang persoalan ini, ada dua pendapat yang masyhur.

Letak Perbedaan Pendapat
Karena adanya kontrakdisi makna umum dalam mengqiyaskan. Pasalnya, mengqiyaskan budak wanita Ahli Kitab kepada wanita yang merdeka mengindikasikan bolehnya budak wanita tersebut dinikahi. Sedangkan yang selebihnya dari makna umum tersebut apabila dikecualikan wanita yang merdeka, maka hal itu akan bertentangan (dengan pendapat yang pertama), karena berimplikasi kepada status keharaman menikahi budak wanita Ahli Kitab, berdasarkan pendapat orang yang memandang bahwa makna umum apabila ditakhsish (dikhususkan), maka selebihnya tetap bermakna umum. Jadi orang yang mentakhshish (mengkhusukan) makna selebihnya yang bermakna umum dengan qiyas atau tidak memandang selebihnya dari makna umum yang telah ditakhshish menjadi makna umum, maka dia akan berpendapat boleh menjadi makna umum, maka dia akan berpendapat boleh menikahi budak wanita Ahli Kitab. Sedangkan orang yang menguatkan pendapat selebihnya dari makna umum tidak ada takhshish (pengkhususan) atas pengqiyasan, dia akan berpendapat tidak boleh menikahi budak wanita Ahli Kitab.

Pendapat Pertama
Menurut pendapat jumhur ulama dari kalangan madzhab Malikiyah[1], Syafi’iyah[2], dan Hanbaliyah [3], seorang muslim tidak boleh menikahi budak wanita Ahli Kitab. Pendapat ini juga diambil oleh Al-Hasan, Az-Zuhri, Makhul, Ats-Tsauri, Al-Uza’i, Al-Laits dan Ishaq. Hal itu diriwayatkan dari Umar dan Ibnu Mas’ud serta Mujahid.

Pendapat Kedua
Menurut madzhab Hanafiyah, seorang muslim boleh menikahi budak wanita Ahli Kitab[4].

Dalil-Dalil Pendapat Pertama
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ

Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki” [an-Nisaa/4 : 25]

Syarat menikahi mereka adalah adanya keimanan, sedangkan budak wanita Ahli Kitab tersebut tidak memiliki keimanan.

2. Demikian pula seorang wanita muslimah mesti dipisahkan (dari suaminya yang kafir), karena akan berakibat suaminya yang kafir itu mendapatkan hak kepemilikan anaknya.

3. Karena hal itu merupakan akad yang dibatalkan oleh dua unsur yang dinilai kurang, yaitu unsur kafir dan kepemilikan kitab. Apabila keduanya bersatu, maka keduanya dapat menghalangi. Contohnya wanita Majusi, karena dia memiliki dua unsur yang dinilai kurang, yaitu kafir dan tidak memiliki kitab, sehingga tidak boleh dinikahi[5].

Dalil-Dalil Pendapat Kedua
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ

Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi” [an-Nisa/4:3]

2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ

Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian” [an-Nisa/4:24]

Maka tidak boleh keluar dari makna tersebut sedikitpun, kecuali dengan dalil yang mengharuskan adanya takhsish (pengkhususan) dan tidak bertentangan dengan apa yang mereka sebut sebagai hujjah yang akan keluar dari makna ayat[6].

Pendapat Yang Lebih Rajih (Unggul)
Pendapat yang lebih rajih (unggul) menurut hemat saya adalah pendapat yang dikemukakan oleh jumhur ulama … karena hujjah mereka lebih kuat. Sedangkan pendapat madzhab Hanafiyah, semua dalil umum yang mereka gunakan telah ditakhshish (dikhususkan) oleh dalil-dalil jumhur ulama. Wallahu a’lam

[Disalin dari kitab Akhkaamu Nikaakhu Al-Kuffaar Alaa Al-Madzhabi Al-Arba’ah, Penulis Humaidhi bin Abdul Aziz bin Muhammad Al-Humaidhi, Murajaah DR. Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim Ali Asy-Syaikh, edisi Indonesia Bolehkah Rumah Tangga Beda Agama?, Penerbit At-Tibyan, Penerjemah Mutsana Abdul Qahhar]
_______
Footnote
[1] Al-Kafi oleh Ibnu Abdil Barr II/543 dan Al-Fawakih Ad-Diwani II/43
[2] Takmilah Al-Majmu XVI/237
[3] Kasysyaf Al-Qana V/84
[4] Bada-i Ash-Shana-i II/272, Syarh Fath Al-Qadir II/234 dan Hasyiyah Ibni Abidin III/47
[5] Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah VI/596 dan Takmilah Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab XVI/237
[6] Syarh Fath Al-Qadir III/235


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3992-penjelasan-wanita-wanita-ahli-kitab-yang-dilarang-untuk-dinikahi.html